Loading...

Tragedi di Tengah Demokrasi: Refleksi Kritis atas Kondisi Kota Makassar Hari Ini

opini Muh Haikal Al Faridzi 01 Sep 2025 54 Views

opini Muh Haikal Al Faridzi
01 Sep 2025 54 Views

IPM.MAKASSAR.OR.ID Kota Makassar kembali diwarnai oleh aksi demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis. Jalanan utama lumpuh, fasilitas umum rusak, Gedung DPRD Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang dibangun memakai uang rakyat hangus dibakar oleh massa, serta ketakutan warga sipil meningkat akibat bentrokan yang tak terkendali. Lebih tragis lagi, sejumlah korban dilaporkan meninggal akibat terjebak di dalam gedung DPRD yang dibakar massa. Fenomena ini bukan sekadar ekspresi politik atau sosial, tetapi mencerminkan kompleksitas persoalan di balik ruang publik kita: bagaimana masyarakat, aparat, dan pemerintah berinteraksi dalam menghadapi aspirasi yang disuarakan secara kolektif.

Di satu sisi, demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang, sebagai bentuk partisipasi publik dalam mengontrol kebijakan. Namun, ketika aksi berubah menjadi anarkis—membakar ban, melempar batu, merusak fasilitas, bahkan melukai sesama masyarakat sipil—maka nilai luhur dari kebebasan berpendapat itu tereduksi menjadi sekadar letupan emosi. Aksi yang semestinya menjadi ruang dialog akhirnya justru menghadirkan ketakutan, kerugian material, bahkan korban jiwa yang tidak berdosa.

Kondisi Makassar hari ini memperlihatkan beberapa masalah serius. Pertama, lemahnya kanal dialog antara masyarakat dan pemerintah. Ketidakpuasan akhirnya meluap di jalanan tanpa mediator yang mampu menyalurkan aspirasi secara produktif. Kedua, aparat keamanan kerap hanya ditempatkan sebagai "pemadam kebakaran", bukan bagian dari mekanisme pencegahan konflik yang lebih humanis dan berorientasi pada hak masyarakat sipil.

Akibatnya, korban dari semua ini bukan hanya pemerintah atau aparat, melainkan masyarakat luas. Pedagang kecil kehilangan penghasilan karena akses jalan terblokir, fasilitas publik yang dibangun dengan uang rakyat hancur, orang-orang tak bersalah kehilangan nyawa akibat terjebak dalam gedung yang terbakar, dan citra Makassar sebagai kota metropolitan tercederai. Jika pola ini terus berulang, masyarakat akan semakin apatis, sementara pemerintah akan semakin represif—dua kondisi yang sama-sama berbahaya bagi demokrasi.

Oleh karena itu, perlu ada refleksi serius. Aksi demonstrasi seharusnya diarahkan menjadi gerakan cerdas, beradab, dan berbasis argumentasi. Pemerintah kota dan aparat juga wajib membuka ruang dialog yang lebih inklusif, sehingga aspirasi tidak hanya didengar ketika sudah meledak di jalanan. Di sisi lain, masyarakat sipil, terutama mahasiswad dan pemuda, perlu menegaskan kembali peran intelektualnya: melawan ketidakadilan dengan data, narasi, dan strategi advokasi yang konstruktif—bukan dengan batu dan api.

Makassar hari ini sedang mengajarkan kita satu hal penting: kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab hanya akan melahirkan kehancuran. Jika kota ini ingin tumbuh sebagai ruang peradaban, maka aksi kolektif harus bertransformasi dari anarkisme menuju dialogisme.