opini Muh Haikal Al Faridzi 07 Jul 2025 150 Views
opini
Muh Haikal Al Faridzi
07 Jul 2025
150 Views
IPM.MAKASSAR.OR.ID Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang telah berdiri sejak 18 Juli 1961, sejatinya hadir sebagai kawah candradimuka untuk mencetak pelajar-pelajar yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil. Dengan ruh keilmuan dan gerakan literasi sebagai denyut nadinya, IPM dulu dikenal sebagai medan tempur intelektual muda yang tak hanya berpikir kritis, namun juga solusi solusi kreatif bagi persoalan umat dan bangsa. Namun, hari ini sebuah pertanyaan besar layak diajukan kemana ruh itu pergi?
IPM yang dulu mengibarkan semangat literasi sebagai senjata perjuangan kini seolah kehilangan tajihnya. Budaya membaca dan menulis yang menjadi jantung gerakan pelajar tercerahkan semakin surut, tergilas oleh gelombang informasi instan yang tak memberi ruang untuk refleksi mendalam. Diskusi-diskusi buku dan kajian ilmiah yang dulu rutin di gelar kini tergantikan oleh kegiatan kegiatan seremonial yang miskin narasi ideologis. Inilah titik awal dari krisis identitas yang menggerogoti IPM dari dalam.
Jika IPM adalah wadah pengembangan potensi pelajar, maka kreativitas semestinya menjadi ciri khas gerakannya. Namun kenyataannya dilapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak kader IPM yang justru terjebak dalam pola kerja administratif dan kegiatan kegiatan yang monoton. Estetika gerakan IPM yang dulunya menyala melalui karya seni, budaya, dann inovasi sosial kini meredup, tergantikan oleh semangat pragmatisme yang menyesuaikan diri dengan apa yang ada, bukan apa yang seharusnya ada. Kreativitas tidak lagi di anggap sebagia bentuk ibadah, melainkan hanya sekedar pelengkap acara.
Gerakan pelajar muhammadiyah seharusnya tumbuh dari dialektika pemikiran, dari keberanian untuk berpikir tajam dan berbeda. Namun hari ini, IPM terkesan hanya sekedar pengikut arus. Keberanian untuk mengkritik dengan argumen, mengembangkan teori perubahan sosial dan berdialog dengan realitas zaman kian hilang. Yang tumbuh justru pendekatan pragmatis, mengutamakan hasil cepat, tanpa proses pembelajaran yang mendalam. IPM hari ini terlalu sibuk menyenangkan semua pihak sehingga kehilangan keberpihakan pada nilai dan prinsip yang dulu menjadi dasar pendiriannya.
Salah satu kekhawatiran yang lainnya membuat ruh itu pergi ialah batas usia pengurus Pimpinan Pusat IPM . persoalan ini semakin kompleks setelah Tanwir Lampung memutuskan untuk menambah batas usia PP IPM, sebuah keputusan yang kemudian mendapat sorotan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Akhirnya, Pimpinan pusat Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 261/KEP/I.O/D/2025 tentang pengesahan keputusan Tanwir Ikatan Pelajar Muhammadiyah 2024 terkait batas usia kepengurusan IPM menjadi maksimal 21 tahun 11 bulan 30 hari ketika muktamar berlangsung.
Keputusan ini menuai beragam reaksi, terutama karena dianggap membatasi kesempatan kader labih tua sambil membuka peluang bagi kader muda. Ada dua indikasi yang kuat yang mungkin melatar belakangi keputusan ini. Pertama, kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk mengembalikan jati diri IPM sebagai organisasi pelajar yang relevan dengan dinamika pelajar di tingkat akar rumput. Kedua, memotong usia tua dan memberikan kesempatan lebih luas untuk usia muda, salah satu alasan PP Muhammadiyah mempermudah batasan usia ialah mungkin ingin memastikan bahwa IPM tetap konsisten pada khittahnya sebagai organisasi pelajar.
Pembatasan ini bisa jadi upaya untuk menghindari fenomena kader abadi dan juga fenomena pragmatisme, keputusan ini juga mendorong percepatan regenerasi, sehingga kaderisasi tidak hanya berputar pada segelintir nama yang sudah lama berkecimpung di organisasi. Dan generasi baru akan dapat tantangan awal untuk mengasah kapasitas kepemimpinan mereka.
Dari dua indikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Mengenai keputusan Tanwir Lampung, menambah usia itu memang salah. Akan tetapi juga keputusan PP Muhammadiyah untuk mempermudah itu sebenarnya menjadi sebuah gebrakan baru. Patut disayangkan ide untuk mempermudah usia ini tidak lahir dari IPM itu sendiri dan Ini bisa menjadi tolak ukur bahwasanya IPM saat ini gagal menafsirkan kondisi kebutuhannya sendiri.
Tantangan kedepannya meski memiliki maksud baik, keputusan ini tentu tidak lepas dari konsekuensi. Beberapa kader yang sebelumnya mempersiapkan diri untuk maju di Pimpinan Pusat IPM mungkin harus mengubah rencana karena terhalang batas usia. Disisi lain, kader muda harus segera meningkatkan kapasitas diri agar siap memikul tanggung jawab besar.
Yang terpenting, semua pihak harus melihat ini sebagai bagian dari dinamika organisasi. Pimpinan pusat muhammadiyah, tampaknya ingin memastikan bahawa IPM tetap menjadi organisasi pelajar yang segar, progresif, dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin muda yang berkualitas. Dan pada akhirnya di balik pro-kontra keputusan ini, yang utama adalah bagaimana IPM tidak terlepas dari apa yang menjadi khittah perjuangannya dan tetap terus bergerak sebagai garda terdepan pelajar muhammadiyah dalam menebar manfaat untuk umat dan bangsa.
Mungkin Anda Suka: